04 Februari 2016

Mencoba Ngeblog via HP


Setelah bertahun-tahun tidak ngeblog, tanpa sengaja malam ini (4/2/2016), saya baru tahu ada aplikasi Blogspot di Google Play. Setelah mendownloadnya, saya juga baru tahu bahwa aplikasi ini bisa untuk menulis blog melalui HP atau tablet. Sungguh sangat memudahkan sekali bagi orang yang suka menulis apa saja seperti diri saya. Ngeblog memakai HP bisa kita lakukan dimana saja, bahkan bisa sambil tiduran di sofa seperti saya lakukan saat ini. Tak demikian halnya jika kita ngeblog dengan komputer atau laptop, mau tak mau harus duduk serius di meja atau lantai. Mudah-mudahan aplikasi ini bisa membangkitkan semangat saya untuk menulis lagi. Ini masih edisi trial and error ngeblog via hp. Mohon maaf jika masih seadanya atau banyak kekurangan.

09 Agustus 2010

Menjadi Muslim Tanpa Membenci Non Muslim


[foto:2i2h.multiply.com]


SEJAK saya masih di bangku kuliah, sering terngiang pertanyaan di benak saya: Mungkinkah saya menjadi seorang muslim yang baik atau taat, tanpa harus memusuhi atau membenci kawan-kawan saya yang nonmuslim?

Sebab, dari pengamatan saya ketika mendengarkan ceramah atau khutbah, sebagian ustad justru mengajarkan kebencian atau permusuhan kepada orang-orang di luar agama Islam, padahal kondisi sehari-hari tidak dalam situasi perang.

Jadi, bila merujuk ustad tadi, sepertinya saya hanya mungkin menjadi muslim yang baik jika pada saat bersamaan bisa membangun tembok pembatas yang tegas dengan mereka yang tidak memeluk agama Islam.

Sejalan dengan itu, kenyataan hidup yang saya lihat sehari-hari kadang juga memperlihatkan: bahwa orang-orang Islam yang bisa bergaul akrab dengan kelompok nonmuslim seolah-olah hanya mereka yang justru mengabaikan ajaran agamanya sendiri. Dengan kata lain, bukan seorang muslim yang taat, alias hanya “Islam KTP” saja.

Pertanyaan itu mendorong saya untuk terus mencari tahu. Jika benar untuk menjadi muslim yang baik (taat) harus “bersikap tidak baik” kepada saudara-saudara kita yang nonmuslim, untuk apa Tuhan membiarkan ada banyak agama di luar Islam?

Dengan kekuasaan-Nya, toh Tuhan sebenarnya bisa menciptakan satu agama saja untuk seluruh umat manusia. Dalam keyakinan Islam, jika Tuhan menghendaki, Dia cukup mengatakan “kun fayakun” (apa yang terjadi, maka terjadilah) untuk membuat seluruh manusia menganut agama yang sama.

Seperti yang ditegaskan-Nya pula dalam ayat ini: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS Al An’am: 35).

Tetapi, mengapa Tuhan tidak mengambil pilihan itu? Lantas, haruskah kita selalu memusuhi apa yang berbeda, di luar diri atau kelompok kita?

Pertanyaan serupa rupanya juga menjadi tanda tanya para pemeluk agama lainnya. Bagi pemeluk Katolik, misalnya, muncul pertanyaan: Mungkinkah menjadi penganut Katolik yang taat tanpa harus membenci mereka yang tidak meyakini iman Katolik.

Pertanyaan umat Katolik tadi di kemudian hari menelorkan apa yang disebut Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II adalah fatwa otoritas Gereja Katolik Roma yang intinya mengajak umat Katolik menghormati “jalan keselamatan lain” di luar agama Katolik. (Lihat Romo JB Banawiratma, SJ “Bersama Saudara-Saudari Beriman Lain, Perspektif Agama Katolik”, dalam buku Dialog: Kritik dan Identitas Agama).

Lalu, bagaimana dengan Islam, agama saya sendiri?

Rahmatan lil ‘alamin
Rasa ingin tahu saya lantas mendorong saya menjadi kutu buku, khususnya buku-buku tentang agama. Alhamdulillah, jerih payah saya membaca buku kemudian membawa saya mengenal konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin –yakni Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (QS Al Anbiyaa:107).

Jika tak salah ingat, saya pertama kali membaca konsep rahmatan lil alamin dalam buku Satu Islam, Sebuah Dilema, terbitan Mizan, Bandung. Sebuah buku yang sebenarnya lebih membicarakan hubungan internal antara berbagai kelompok di dalam Islam, seperti antara penganut mazhab Suni dan Syiah, atau NU dan Muhammadiyah. Seiring berjalannya waktu, makin banyak buku-buku yang saya baca juga mengupas tema itu.

Dalam konsep rahmatan lil ‘alamin, umat Islam sejatinya mengemban tanggung jawab untuk selalu menjadi rahmat bagi lingkungannya. Walhasil, terhadap pemeluk agama lain pun kehadiran umat Islam seharusnya membawa dampak kebaikan atau bersifat mengayomi. Terlebih jika umat Islam menduduki posisi dominan atau menjadi umat mayoritas di suatu tempat.

Konsep rahmatan lil ‘alamin sejalan dengan ajaran Islam bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (laa ikraaha fiddiin, QS Al Baqarah: 256), dan bahwa setiap orang bebas menjalankan agama yang diyakininya (lakum diinukum waliyadin, QS Al Kafirun: 6). Juga bahwa orang Islam tidak memusuhi kelompok lain kecuali mereka memusuhi muslim karena agama (QS Al Mumtahanah: 8).

Pengertian bebas menjalankan agama tentunya juga bermakna bebas mendirikan rumah ibadah atau mengupayakan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung keperluan itu. Ini sesuai ajaran Islam yang melarang umatnya merusak rumah-rumah ibadah agama lain, bahkan dalam kondisi peperangan sekalipun (QS Al Hajj: 40). Sementara frase “tidak memusuhi kecuali dimusuhi” mengandung makna defensif atau sebatas membela diri.

Dalam konteks ini, bisa dipahami jika tidak sedikit umat atau tokoh Islam yang menentang aksi perusakan rumah ibadah agama lain, misalnya gereja-gereja, seperti yang beberapa kali terjadi di Indonesia belakangan ini. Sebab aksi-aksi yang dilakukan sebagian kecil umat Islam tersebut sebetulnya justru menodai ajaran tasamuh (toleran) Islam itu sendiri.

Karena itu, umat agama lain pun harus belajar membedakan antara perilaku segelintir umat Islam –yang sekadar mengatasnamakan Islam— dengan ajaran sejati Islam itu sendiri. Jangan sampai tindakan sebagian kecil umat Islam yang menyimpang menjadi sumbu penyulut konflik horizontal yang tidak perlu.

Terlebih kitab suci umat Islam, Al Quran sendiri, justru secara terbuka mengatakan: “(Engkau Muhammad) akan menemukan, golongan yang paling dekat kasih sayangnya kepada orang-orang beriman adalah mereka yang mengatakan, ‘Kami adalah orang-orang Nasrani’.” (QS Al Maidah 82).

Lomba Berbuat Baik
Ternyata salah satu agenda yang diinginkan Tuhan, di balik desain keragaman agama yang diciptakan-Nya, ialah supaya manusia senantiasa berlomba berbuat baik. Dalam Islam misalnya, umum dipahami nukilan kitab suci yang menjadi slogan Pemuda Muhammadiyah: fastabiqul khairot, yang artinya berlomba-lomba menuju kebaikan.

“Dan bagi tiap-tiap umat memiliki kiblatnya (sendiri), tempat mereka menghadapkan muka kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al Baqarah :148).

Maka, apa pun agama yang kita anut, tugas universal kita sebagai manusia adalah senantiasa menunaikan kebaikan bagi manusia lainnya. Dalam konteks ini, tepat sekali penggambaran Deddy Mizwar, dalam film atau sinetron dakwah Kiamat Sudah Dekat. Dalam salah satu adegannya, aktor kawakan itu menyatakan bahwa saat kita hendak menolong orang yang kecelakaan di tengah jalan, kita tidak pernah bertanya lebih dulu, apa agama yang dianutnya.

Demikian pula mestinya ketika kita hendak berbuat baik bagi sesama manusia: kita tidak perlu bertanya apa keyakinan atau agamanya. Sebab, jangankan kepada sesama manusia, menolong anjing yang kehausan di tengah jalan pun sudah merupakan amal kebaikan yang sangat terpuji dalam kisah Nabi (HR Bukhari). Padahal anjing dikenal sebagai binatang yang air liurnya dianggap najis oleh para pemeluk Islam.

Terkait lomba berbuat baik ini relevan dikemukakan hadis atau sabda Nabi Muhammad SAW lainnya. Suatu ketika Nabi ditanya oleh para sahabatnya, siapa di antara mereka yang paling baik amalnya. Nabi pun menjawab bahwa orang Islam yang paling baik ialah mereka yang “paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (HR Bukhari).

Dengan kata lain, kesalehan seorang muslim tidak hanya diukur dari segi ketaatannya menjalankan ritual-ritual agama yang baku, melainkan juga dinilai dari sejauhmana ia telah mengisi kehidupannya dengan kebaikan-kebaikan bagi sesama. Artinya, kesalehan vertikal kepada Tuhan harus dibuktikan dengan kesalehan horizontal atau kesalehan sosial, berupa berbuat kebaikan kepada sesama manusia.

Karena itulah, ketika seorang muslim selesai menjalankan shalat lima waktu, selalu saja ditutup dengan ucapan salam, disertai gerakan menengok ke kiri dan ke kanan. Ini mengandung makna simbolik bahwa ketaatan ritual harus diimplementasikan secara nyata berupa kepedulian terhadap sesama, manusia yang hidup di kanan-kiri kita.[]


Keterangan:
*QS: Al Quran Surat
**HR: Hadis Riwayat

Ketika Cinta Tidak Sempurna (#1)




[foto: www.rajacraft.com]
 

kau begitu sempurna
di mataku kau begitu indah
kau membuat diriku
akan selalu memujamu

(Sempurna, Andra and the Backbone)
 
SERING terjadi, tatkala kita ingin memiliki seorang kekasih atau soulmate (pasangan hidup), kita sibuk menyusun serangkaian kriteria yang harus dimiliki calon yang dikehendaki. Sementara kita sendiri, pada saat yang sama, justru menuntut orang yang kita cintai agar bisa menerima diri kita apa adanya, total, tanpa syarat.

Memang begitulah kecenderungan manusia. Sebab, pada dasarnya, setiap orang tampaknya ditakdirkan untuk lebih mencintai dirinya sendiri sebelum dapat mencintai orang lain. Dengan kata lain, kita adalah makhluk egois atau egosentris: makhluk yang selalu mengukur segala sesuatu dari subyektivitas pribadi atau ego sendiri.

Namun, ironisnya, ketika kita sejak dini sibuk menetapkan kriteria yang muluk-muluk atau serba sempurna, seringkali hasil akhirnya justru tidak sempurna, alias hanya menuai kecewa. Mengapa?

Mungkin karena secara psikologis kita telanjur over-estimate, atau terlalu mengharapkan adanya kesempurnaan pada orang yang dicintai, akhirnya kita malah menjadi terlalu sensitif terhadap segala kekurangan atau kelemahannya. Akibatnya, tidak jarang hal-hal sepele atau kecil pun kita besar-besarkan, sehingga menyebabkan percekcokan atau perpisahan.

Sikap kelewat perfeksionis, yang nyaris tidak bisa menoleransi sedikit pun kelemahan pasangan, juga menunjukkan bahwa kita kurang bisa mensyukuri segala kelebihan orang yang kita cintai. Dalam bahasa agama, sikap demikian bisa disebut “kufur nikmat”. Maksudnya, sebuah sikap yang mengingkari segala kenikmatan yang mungkin telah diberikan Tuhan melalui diri orang yang kita cintai.

Lantaran tidak bisa mensyukuri yang ada, kita pun menjadi rajin membanding-bandingkan orang yang kita cintai dengan orang lain. Tentu saja, jika niatnya sudah tidak benar, maka apa yang terlihat pada diri soulmate adalah yang serba minus melulu. Ini lantaran faktor yang mendorong kita untuk mengkomparasikan pasangan dengan orang lain ialah sikap kita yang terlampau terobsesi akan kesempurnaan. Kita tidak pernah mau bersikap qanaah atau merasa puas dengan apa yang telah diberikan Allah.

Karena itu, patut diingat nasihat berharga Pak Amien Rais bagi putrinya yang akan menikah: bahwa ketika kita telah memutuskan untuk menikah, berarti mulai saat itu juga kita harus berhenti membanding-bandingkan. “Pernikahan adalah waktunya untuk berhenti membandingkan,” katanya. Sebab, jika tidak, kita tidak akan pernah bisa menggapai rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah; yaitu rumah tangga yang tenteram dan penuh cinta dan kasih sayang.


Husnudzon

Agama mengajarkan bahwa jika kita pandai mensyukuri nikmat atau apa pun yang telah diberikan Allah kepada kita, maka Allah akan menambah kenikmatan tadi berlipat-lipat. Sebaliknya, Tuhan melaknat orang-orang yang kufur nikmat atau tidak tahu berterima kasih atas segala anugerah yang telah diterimanya selama ini.

Ambil contoh dalam menyikapi musibah. Jika kita tetap bisa berpikir positif tentang rencana Tuhan yang telah mempertemukan kita dengan suatu musibah, tidak jarang di balik musibah tadi justru kita dapat menemukan berkah yang tak ternilai harganya (blessing in disguise).

Begitu pula Allah telah mewanti-wanti umat manusia agar bersabar dan tetap berpikir positif tatkala menjumpai suatu hal yang tidak disukai pada diri soulmate-nya. “Kemudian bila kamu tidak menyukai pasangan hidupmu, (maka bersabarlah) sebab boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa: 19).

Ayat tadi secara tak langsung juga menasihati agar manusia senantiasa berprasangka baik atau ber-husnudzon kepada Allah. Sebab Allah itu sesuai prasangka kita sendiri terhadap-Nya. Seperti difirmankan Allah melalui sebuah hadis qudsy ini: “Aku (Allah) tergantung persangkaan hamba-Ku.” (HR Bukhari, Muslim, at-Turmudzi, Ibnu Majah).

Artinya, jika persepsi dalam benak atau hati kita terhadap Allah positif, seperti maha pemurah, maha pengasih, maha penyayang, maka respon seperti itulah yang akan kita raih dari Allah. Sebaliknya, jika persepsi kita kepada Allah negatif, misalnya bahwa Allah telah memperlakukan kita tidak adil, Tuhan telah menelantarkan diri kita padahal kita sudah rajin beribadah, dan semacamnya, maka respon yang kita peroleh pun akan negatif, misalnya sulit rezeki, sakit-sakitan, dan sebagainya.

Hal itu bukanlah keajabaiban yang tidak masuk akal, tetapi merupakan hukum sebab-akibat yang logis terjadi. Sebab prasangka kita sebenarnya adalah juga doa. Sedangkan hadis qudsy merupakan sunatullah (ketentuan Tuhan) yang adil. Sementara salah satu sifat Allah adalah Dia takkan melanggar sunatullah-Nya sendiri.

 

Muhasabah

Maka dari itu, daripada sibuk menyusun kriteria ideal apa saja yang wajib dimiliki calon pasangan hidup, lebih positif jika kita melakukan introspeksi atau muhasabah diri. Dengan introspeksi, kita akan bisa menakar sejauhmana dengan kualifikasi yang kita miliki, layak atau tidak untuk mendapatkan pasangan yang diharapkan. Ukurlah diri sendiri secara jujur, toh jawabannya tidak perlu diberitahukan kepada orang lain.

Jika konklusinya nilai diri kita masih penuh angka merah, alias tidak “match” untuk mendapatkan soulmate idaman, berarti saatnyalah kita harus kembali menata kualitas diri. Namun, jika kita malas meng-up grade kualitas pribadi atau sudah mencobanya tapi merasa sudah mentok, solusinya ialah: segera turunkan kriteria soulmate yang diinginkan. Dengan kata lain, carilah calon yang lebih se-kufu (sepadan) dengan modal dasar kita sendiri.

Kemudian, setelah bertemu calon pasangan hidup yang sesuai, cobalah tetap berpikir positif terhadap pasangan kita, dengan mengapresiasi kelebihan-kelebihannya, seraya menerima segala kekurangannya dengan sabar dan ikhlas. Sebab, pada dasarnya manusia memang didesain untuk memiliki kekurangan, selain dibekali sejumlah kelebihan. Hanya para Nabi yang ditetapkan Allah untuk memiliki sifat ma’shum atau terjaga dari kemungkinan berbuat salah dan dosa. Di luar itu, hanya Allah atau Tuhan saja yang Maha Sempurna (QS Yusuf :51).


Dengan memahami bahwa hanya Tuhan yang Sempurna, seharusnya kita juga menyadari bahwa sebagai makhluk ciptaan-Nya kita semua mustahil untuk sempurna. Dan implikasinya, kita mestinya juga berhenti untuk mengharapkan atau mengejar calon pasangan hidup yang serba sempurna

Namun, jika kita masih saja memimpikan calon soulmate yang sempurna – sementara pada saat yang sama kita telah menyadari bahwa kita sendiri pun sebagai sesama manusia tidak mungkin sempurna— maka sama saja kita berperilaku ibarat “pungguk merindukan bulan”, alias hanya menantikan harapan yang sia-sia.

Sementara ihwal perjodohan manusia sendiri, Allah dalam Al Quran sudah menjanjikan bahwa sejatinya lelaki yang baik adalah untuk perempuan yang baik, dan sebaliknya lelaki yang buruk juga bagi perempuan yang buruk (QS An Nuur: 26).

Dengan kata lain, jodoh sebenarnya cenderung menyesuaikan dengan kualitas atau kualifikasi diri kita sendiri. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah populer “jodohmu dari jenismu sendiri” (QS Ar Rum 21).

Dalam konteks ini pula seharusnya kita memahami statemen bahwa jodoh telah ditetapkan sejak dari sono-Nya, atau pernyataan bahwa “jika sudah jodoh takkan kemana.” Artinya, jika kita memang manusia baik-baik, jangan khawatir bakal tak kebagian jatah yang baik, sebaliknya jika kita belum baik jangan berharap akan mendapatkan yang terbaik. [] Jakarta, Ahad 30 Mei 2010.

* Baca tulisan selanjutnya di Ketika Cinta Tidak Sempurna (#2).

Ketika Cinta Tidak Sempurna (#2)










[foto: salazad.com]


DENGAN calon pasangan hidup yang kriterianya tidak sesempurna yang kita harapkan, mungkinkah kita bisa meraih kesempurnaan hasil? Dalam arti mendapatkan hubungan yang membahagiakan, rumah tangga bahagia, atau istilah agamanya: mencapai keluarga sakinah mawaddah warohmah?

Menurut saya, asal saja kita mau menyadari ketidaksempurnaan kita sebagai manusia, dan sekaligus dapat memahami atau menerima ketidaksempurnaan calon soulmate kita dengan ikhlas, insya Allah sangat mungkin akhirnya dapat meraih sukses atau kesempurnaan berumah tangga. Betapapun awalnya boleh jadi tidak dimulai dengan kriteria pasangan yang tidak sempurna tadi.

Mengapa? Sebab jika kita memaklumi bahwa sebagai makhluk kita tak lepas dari kekurangan, tentunya juga tidak akan mengungkit-ungkit kekurangan pasangan kita. Justru dengan menyadari adanya potensi keterbatasan dalam diri tiap orang, menikah atau memiliki pasangan hidup harusnya menjadi wahana menyinergikan potensi atau kelebihan masing-masing, sembari saling melengkapi kekurangan yang ada.

Dengan demikian, jika ditemukan kekurangan pada diri pasangan yang cukup mengganggu keharmonisan hubungan, solusinya bukan dengan memojokkan atau menyalahkan pasangan, melainkan bagaimana kita secara bersama-sama menyelesaikan persoalan (pendekatan problem-solving). Makanya, betapapun dimulai dengan ketidaksempurnaan, asal ada komitmen untuk berbagi (take and give) antara pasangan suami-istri, tentunya tantangan atau persoalan seberat apa pun dapat dibicarakan dan diselesaikan.

Hubungan suami-istri yang egaliter dan saling melengkapi beginilah yang menurut saya telah digambarkan dengan sangat indah dalam Al Quran. Yakni bahwa “suami adalah pakaian untuk istri, begitu pula istri merupakan pakaian bagi suami” (QS Al Baqarah: 187). Dalam hal ini, agar kita dapat saling komplementer atau klop (istilah Jawanya ibarat “tumbu entuk tutup” atau wadah dengan penutupnya), dibutuhkan kemauan keras untuk menekan ego sekaligus mengembangkan sikap empati satu sama lain.

Dengan diturunkannya ego atau rasa keakuan seseorang, otomatis akan berkurang pula sikap mau menang sendiri, dan pada akhirnya lebih memudahkan bagi pasangan yang bersangkutan untuk saling berempati satu sama lain. Yang dimaksud dengan empati adalah kesanggupan kita untuk merasakan atau menghayati pikiran atau perasaan orang lain dari sudut pandang orang tersebut, bukan dari sudut pandang kita. Dengan kata lain, kita harus mampu membayangkan diri kita seolah-olah berada dalam posisi orang lain itu.

Jika kita mampu berempati, kita juga lebih bisa mengendalikan diri dan bersikap pengertian atau toleransi kepada pasangan atau orang lain. Kita, misalnya, tidak akan sampai hati mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati, baik berupa cacian atau kata-kata yang merendahkan lainnya. Kita juga tidak akan melakukan perbuatan tercela yang bisa dikategorikan sebagai KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), sebab kita pun tidak mau diperlakukan begitu.

Pendeknya: karena kita tidak mau disakiti oleh pasangan, maka kita juga tidak mau menyakiti pasangan hidup kita. []

*Baca tulisan sebelumnya di Ketika Cinta Tidak Sempurna (#1).

Palestina Oh Palestina



 

MELIHAT kebrutalan demi kebutralan rezim zionisIsrael Israel, membuat aku merasa lelah dan jenuh. Sebab, sejak SMP, aku sudah akrab dengan berita seperti itu. Tetapi, sejak saat itu hingga hari ini, rasanya tak satu pun pelanggaran HAM tersentuh hukum.
 

Tiap kali ada upaya menjatuhkan sanksi PBB kepada Israel, negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS), buru-buru mementahkannya dengan hak veto . Memang begitulah standar ganda atau hipokrisi ala Amerika.

Maka dari itu, kadang aku pun tak ingin mendengar berita seperti itu lagi. Aku ingin mematikan TV atau memalingkan muka, ketika muncul berita kekejaman atas bangsa Palestina. Aku ingin menutup mata dan telinga, ibarat seseorang hendak mengubur dalam-dalam kenangan pahit masa lalunya.

Sebab wajah-wajah balita, ibu-ibu hamil atau tua renta, dan orang-orang biasa, yang bersimbah darah akibat peluru serdadu Israel itu, terus membayang di pelupuk mataku. Mereka hanya sebagian kecil dari ratusan korban pembantaian Sabra-Shatila, penembakan remaja pelaku intifadah, hingga penyerangan kafilah kemanusiaan ke Gaza baru-baru ini. Entah, tragedi Palestina ini sampai kapan akan terus terjadi.

Aku ingin berteriak dan melawan itu semua, tetapi kenyataannya aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa bertanya-tanya sendiri, atau kadang menggugat dalam hati, meminjam kata-kata Isa Al Masih: Eli Eli lama sabakhtani…Tuhan, Tuhan, mengapa Kaubiarkan semua itu terjadi? Apakah Engkau sekarang tak berdaya dan tak Mahakuasa lagi? Apakah Tuhan juga terjebak konspirasi lobi Yahudi pro-Israel, seperti nyaris dialami semua petinggi adikuasa Amerika?

Simpati dan keprihatinanku yang mendalam kepada warga Palestina itu sama dengan simpati dan keprihatinanku ketika melihat orang-orang Yahudi disiksa, dibantai, atau dibiarkan pelan-pelan mati kelaparan dan kedinginan di kamp-kamp konsentrasi NAZI pada masanya.

Pemimpin NAZI Jerman, Adolf Hitler, yang rasis dan paranoid, pada masanya telah menciptakan holocaust, untuk memburu keturunan Yahudi atau ras semit di seluruh penjuru Eropa. Orang-orang Yahudi dijadikan target pembunuhan massal dan dikambinghitamkan sebagai penyebab kesengsaraan bangsa. Tak hanya para laki-laki, wanita dan anak-anak juga menjadi sasaran genosida tak berperikemanusiaan itu.

Tetapi, sekarang, mengapa orang-orang Yahudi Israel melakukan kekejaman yang sama kepada bangsa Palestina, baik Muslim maupun Kristen? Apakah pengalaman menerima perlakuan dengan kekerasan, yang berada di luar batas-batas kemanusiaan, justru mengilhami kaum Yahudi Israel melakukan hal yang sama? Apakah memang begitu sejatinya tabiat dasar manusia?

Mungkinkah pengalaman kolektif ditindas secara kejam oleh rezim fasis Nazi-Hitler telah membentuk Israel menjadi bangsa paranoid dan overacting dalam menyikapi setiap potensi ancaman atau gangguan? Bagaimana logika dan hati nurani mereka bisa membenarkan pasukan komando, bersenjata lengkap, menyerbu rombongan aktivis kemanusiaan tak bersenjata, yang hendak membantu pangan dan obat-obatan untuk warga Palestina di Gaza?

Bagaimana pula sikap Amerika Serikat, sang polisi dunia yang mengklaim sebagai pengawal demokrasi dan HAM itu, bisa mendiamkan saja perilaku terorisme negara yang dilakukan sekutu terdekatnya?

Pertanyaan demi pertanyaan itu, seperti berondongan peluru tajam yang terus merobek-robek benak dan hatiku. Aku memang tidak setuju dengan sebagian kawan-kawanku yang melihat konflik Israel-Palestina semata-mata sebagai masalah agama. Masalah agama Yahudi dengan Islam khususnya. Sebab sebagian cukup besar warga Palestina adalah umat Nasrani, dan mereka pun ikut menjadi korban kezaliman rezim rasis Israel. Sementara tak semua orang Yahudi menyetujui perilaku biadab Israel, seperti intelektual terkemuka Noam Chomksy yang belum lama ini dicekal masuk Israel.

Bagiku, kesewenang-wenangan Israel atas warga Palestina lebih dari sekadar masalah agama. Menurutku, masalah Palestina adalah masalah kemanusiaan. Sebagai masalah kemanusiaan, sudah seharusnya isu Palestina menjadi keprihatinan bersama seluruh umat manusia, apa pun agamanya. Dan sudah semestinya pula, kekejaman zionis Israel menjadi musuh bersama seluruh bangsa-bangsa yang hidup di muka bumi ini.

Namun, tatkala AS dan negara-negara Barat masih saja bersikap tidak adil dan selalu membela ulah biadab sekutu zionisnya, aku memang tidak bisa menyalahkan jika kemudian sebagian kawan-kawanku melihat persoalan ini dari perspektif agama. Ketika semua argumen logis sudah tak mempan lagi diajukan sebagai solusi untuk mengerem sepak terjang zionis Israel, konsekuensinya memang seruan-seruan sakral bernuansa agamalah yang bakal mengemuka.

Bukankah ketika sampai puncak frustasinya, manusia akan cenderung berpaling kepada teks-teks suci Ilahi atau justru melakukan tindakan nekat bunuh diri? Maka, jangan heran jika setelah serangan serdadu Israel atas rombongan kemanusiaan ke Gaza ini, aksi-aksi terorisme atas nama agama atau bom bunuh diri akan marak kembali.

Bisa diduga, jika sampai hal itu terjadi, maka kepentingan Barat dan AS khususnya –yang rajin memberi payung perlindungan bagi ulah keji zionis Israel– yang bakal menjadi sasaran utamanya. Di mana pun dan kapan pun, di seluruh penjuru dunia ini.

Dan, pada saat seperti itulah, AS dan sekutunya mungkin baru menyadari kekeliruannya: senjata-senjata berteknologi canggih ternyata tak banyak gunanya. Sebab, senjata secanggih apa pun atau laju peluru setajam apa pun, hanya akan disambut pekik sukacita para mujahid: Mati syahid (memang) cita-cita tertinggi kami!

berkobar tinggi panaskan bumi
membakar ladang dan rumah kami
darah syuhada mengalir suburkan negeri
tiada kata lagi, kami harus kembali….

berbekal iman yang paling utama
mujahid maju songsong senjata
pasukan Allah akan membela
mereka atau kami yang binasa…


(Izis, Kembali). [] Jakarta, 2 Juni 2010.


Catatan:

* Untuk teman-teman yang masih bingung membedakan ihwal Yahudi dan Zionisme, silakan klik http://www.harunyahya.com/indo/artikel/049.htm dan http://www.tragedipalestina.com/yudaisme.html.

**Lihat juga tulisan saya terkait di http://agama.kompasiana.com/2010/05/17/apakah-orang-yahudi-selalu-jahat/.

SBY, Obama, dan Lobi Yahudi







obama merangkul mesra  pemimpin lobi yahudi amerika pro-israel, aipac
[foto:sydwalker.info]

ZIONISME yang melahirkan negara Israel adalah ideologi paranoid dan rasis, mirip Naziisme yang dikembangkan Adolf Hitler di Jerman menjelang Perang Dunia II. Itulah sebabnya, baik Naziisme maupun Zionisme, sama-sama menghasilkan kejahatan bagi kemanusiaan (crime against humanity) yang sangat memilukan.

Hitler dengan Nazinya membangun kamp konsentrasi dan melakukan holocaust untuk melenyapkan ribuan orang Yahudi di seantero Eropa. Orang-orang Yahudi menjadi korban genosida (pembantaian etnis), karena dianggap sebagai penyakit masyarakat dan dikhawatirkan mencemari kemurnian ras unggulan, ras aria Jerman, yang bermata biru dan berambut jagung.

Sementara Israel berkali-kali melakukan pembantaian massal atas ribuan penduduk Palestina, dan sekarang memenjarakan 1,5 juta warga Palestina, laki-laki, perempuan, tua muda, di tanah miliknya sendiri: Gaza. Warga Palestina, baik Muslim maupun Kristen, diusir dan dibantai, karena dianggap mengganggu cita-cita bangsa Israel menguasai dan memperluas “tanah terjanji” bagi kaum Yahudi.

Hitler membangun poros kekuasaannya dengan menjalin aliansi strategis dengan rezim fasis Jepang, Italia, dan Spanyol. Sementara Israel membentuk aliansi segitiga, dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya. AS adalah pengawal setia zionisme Israel, siapa pun pemimpin atau partai yang tengah berkuasa di negeri Paman Sam itu.

Lobi Yahudi

AIPAC, organisasi lobi politik kaum Yahudi AS pro-Israel, yang berperan sebagai kasir atau penyumbang dana besar bagi setiap kandidat presiden maupun anggota Kongres AS, berada di balik awetnya persekongkolan AS dan Israel. Melihat fakta dan konstelasi ini, jangan terlalu berharap bahwa Presiden Barrack Hussein Obama akan bisa memainkan peran penting demi menghentikan penindasan Israel atas bangsa Palestina.

Pada diri sosok Obama memang mengalir darah Islam dari ayahnya dan darah Kristen dari ibunya. Namun, jangan lupa, Obama tidak bisa mengelak dari realita bahwa ia bisa hidup dan berkuasa lantaran sumbangan yang mengalir dari rekening orang-orang Yahudi Amerika pendukung Zionisme Israel.

Demikian pula kita tidak bisa berharap banyak kepada para pemimpin negara-negara Barat di luar AS. Sebab, pada akhirnya, mereka pun akan tunduk kepada kemauan satu-satunya negara adikuasa itu, meski sesekali mereka ikut mengecam kebiadaban rezim Zionis Israel secara terbuka.

Bahkan, terhadap para pemimpin non-Barat, termasuk para pemimpin negeri-negeri anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), pun kita tidak bisa terlalu menumpukan harapan. Apalagi jika para pemimpin tersebut cenderung menjadi pelayan kepentingan Barat, seperti raja Arab Saudi atau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Raja Arab Saudi dan SBY selama ini hanya sibuk memainkan silat lidah (lips service), agar di mata rakyatnya seolah-olah terlihat bahwa mereka membela rakyat Palestina. Namun, sejatinya, keduanya sama-sama menjalankan politik luar negeri yang bersifat oportunis.

Palestina di mata raja Arab Saudi atau SBY hanya ibarat seorang pengemis belaka. Karena itu Saudi menggelontorkan dana bagi Palestina, dan dana pula yang diberikan SBY ketika Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengunjungi RI baru-baru ini. Namun jangan harap raja Saudi atau SBY mengecam standar ganda Amerika, yang mudah menghukum negara-negara yang dituduh sarang teroris seperti Irak dan Afghanistan, tapi justru membela kebiadaban Israel dengan pelbagai cara. Padahal justru Israel inilah sejatinya “the real terorist” yang mempraktekkan terorisme negara, seperti didoktrinkan sang ideolog Zionisme, Theodor Herzl.

Di luar urusan pencitraan, Saudi adalah sekutu terbaik AS di Timur Tengah setelah Israel. Seolah ingin melebihi Israel dalam membina persahabatan dengan AS, Arab Saudi malah menyediakan pangkalan militer bagi AS di wilayah kedaulatannya. Sementara Indonesia di bawah kepemimpinan SBY adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang paling ramah (welcome) terhadap agenda neoliberalisme (Washington Consensus) yang disponsori AS.

Sebagaimana Obama membanggakan pengalaman masa kecilnya yang pernah tinggal di Menteng, Jakarta, SBY pun gagal menyembunyikan kebanggaannya bahwa faktanya ia adalah salah satu jenderal Indonesia hasil didikan Amerika.

Karena itu, kita dapat melihat bahwa penguasa Israel, AS, dan Indonesia, menyusul insiden penyerbuan misi kemanusiaan Freedom Flotilla ke Gaza, tidak jauh berbeda nuansa pernyataannya. Jika Israel dan AS hanya menyesalkan terjadinya insiden tersebut, Indonesia hanya mengecamnya. Itu pun tidak disampaikan SBY sendiri, melainkan hanya melalui Kementerian Luar Negeri.

SBY baru merasa perlu menampakkan diri di layar kaca ketika jelas-jelas para WNI yang ikut misi kemanusiaan ke Gaza tiba di Yordania. Ia menelpon para WNI itu, untuk membangun citra bahwa ia peduli kepada nasib warga Indonesia yang tengah ditimpa bencana. Di luar itu, SBY hanya berucap bahwa ia akan membahas insiden penyerangan misi kemanusiaan ke Gaza dengan Barrack Obama, pada saat Obama mengunjungi Indonesia bulan Juni ini (Kompas.com 1/6/10). Sialnya, tak lama kemudian, Obama untuk yang kedua kalinya menyatakan menunda kunjungannya ke Indonesia. Jika tak ditunda lagi, Obama baru bertandang ke Indonesia sekitar bulan November mendatang.

Artinya, andai 12 WNI itu terus disekap di penjara Israel dan tidak segera dibebaskan, SBY baru akan membahasnya dengan Obama 6 bulan lagi. Itu pun baru janji, dan belum tentu ditepati. Sebab Wapres AS, Joe Bidden, sendiri justru baru saja mengeluarkan pernyataan sikap yang membenarkan tindakan biadab Israel yang menyerang rombongan misi kemanusiaan itu. Beranikah SBY “head to head” menantang sikap AS? Saya kok cenderung ragu, seperti sikap SBY yang juga selalu peragu itu.

Mengapa SBY tidak berani mengeluarkan statemen keras terhadap Israel, menyusul penyerangan atas rombongan misi kemanusiaan ke Gaza yang tidak bersenjata? Padahal di dalam rombongan kapal itu terdapat 12 relawan Indonesia. Mengapa Presiden Venezuela Hugo Chavez, yang beraliran kiri, justru berani mengeluarkan pidato kecaman secara langsung dan lebih keras? Padahal Venezuela hanya negara kecil, dengan penduduk sekitar 30-an juta jiwa. Apakah SBY takut kepada Israel?

Mungkin itulah beberapa pertanyaan yang boleh jadi berseliweran di benak kita melihat sikap SBY yang, maaf, “letoy” menyikapi kebiadaban Israel. Menurut saya, penyebab utama SBY terkesan berhati-hati menyikapi aksi brutal Israel bukan karena ia takut kepada negeri Zionis itu, melainkan khawatir jika ia bersikap terlalu keras akan bisa menyinggung perasaan AS, sang pengawal kepentingan Israel. Dan bila itu terjadi, kita tahu, Barrack Obama bukan saja merasa tidak nyaman ketika berkunjung ke Indonesia, melainkan bisa menunda lagi kunjungannya ke negeri ini.

Ironisnya, meski SBY sudah bersikap santun dan menunjukkan perilaku sebagai murid AS yang taat, masih saja Obama menunda kunjungannya ke Indonesia. Padahal pekan pertama Juni ini, rombongan pengawal presiden AS itu telanjur melakukan survei pendahuluan di Indonesia, untuk mempersiapkan kunjungan bosnya ke negeri ini.

Apa boleh buat, SBY pun tak bisa berbuat apa-apa menyikapi kesewenang-wenangan Obama yang beberapa kali menunda-nunda kunjungannya ke Indonesia tanpa alasan yang jelas. Jadi jangan pernah berharap SBY bakal berani berkata, “Go to hell, USA with your Israel!”

Sebab jika kita masih berharap SBY berani bersikap tegas seperti itu, sama saja mengharapkan SBY menjadi Bung Karno, yang pernah menantang arogansi Amerika dengan mengatakan, “Go to hell with your aid!”. Dan jika kita mengharapkan SBY menjadi Bung Karno, sama artinya mendamba kucing menjadi macan. Alias hal yang mustahil, atau kata anak-anak muda: nggak level banget deh…[] Jakarta, 4 Juni 2010.

Ketika Kita Macet Menulis

[ilustrasi: jskompani.no]
SEPANDAI dan seproduktif apa pun, seorang penulis atau pengarang, suatu saat tentu pernah mengalami kondisi kebuntuan atau macet menulis. Memang, pada saat seperti ini, bisa saja ia memaksakan diri menulis, namun hasilnya sering tidak memuaskan atau berada jauh di bawah standar yang diharapkannya.

Jika tidak demikian, seringkali tulisannya malah berhenti di tengah jalan. Baru satu atau dua paragraf macet, dan ia kelimpungan, tidak tahu ke arah mana tulisannya akan dilanjutkan. “Sedang kehabisan bahan,” begitu alasan klise yang biasanya dikemukakan. Atau bisa juga, “Lagi nggak ‘mood’ menulis.”

Mengapa Terjadi?

Kondisi “kehabisan bahan” acap muncul bila seorang penulis sangat produktif menulis, namun enggan mengimbangi dengan aktivitas membaca. Membaca di sini tidak hanya dalam arti harfiah, seperti membaca buku, jurnal, koran, atau media online, namun juga membaca “ayat-ayat yang terhampar” atau fenomena sosial dan alam sekitar. Dalam istilah para aktivis Islam, yang terakhir lazim dikenal sebagai tadabur alam.